Sabtu, 15 Februari 2014

Sejarah Mobil Timor

SETELAH Gatutkaca N250, Indonesia pun kini memiliki mobil buatan sendiri. Namanya Timor, nama yang mengingatkan pada pulau kecil di Indonesia Timur yang tak pernah lepas dari pembicaraan internasional itu. Menurut Tommy Soeharto, pemilik perusahaan Agen Tunggal Pemegang Merk si Timor itu, arti nama itu adalah Teknologi Industri Mobil Rakyat.
Memang, belum hari-hari ini si Timor akan bergabung dengan kemacetan Jakarta. Rencananya, baru September nanti sedan 1500 cc ini akan melenggang di jalan-jalan Indonesia. Ketika itu, sebenarnya, Timor belum bisa disebut made in Indonesia: baru sekitar 20% komponen lokal di tubuhnya. Barulah tiga tahun kemudian, direncanakan mobil ini melaju dengan tubuh 60% buatan Indonesia.
Lalu, mengapa Timor ?
Rabu, 28 Februari 1996, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tungky Ariwibowo menggelar konperensi pers. Ia mengumumkan sebuah Inpres baru tentang pembangunan industri mobil nasional. Pada pokoknya Inpres Nomor 2 Tahun 1996 itu menginstruksikan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal agar secepat mungkin mewujudkan industri mobil nasional.
Itu sebabnya, bersamaan dengan ditekennya Inpres itu, 19 Februari 1996 (tapi baru diumumkan tanggal 28 Februari), turun pula peraturan pemerintah, surat keputusan Menteri Keuangan, surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang memberikan kemudahan kepada produsen mobil nasional sesuai yang dikatakan oleh Inpres Nomor 2 itu.
Peraturan Pemerintah yang baru itu membebaskan pengenaan pajak barang mewah pada mobil nasional. Menteri Keuangan membebaskan bea masuk komponen impor untuk mobil nasional. Menteri Perindustrian dan Perdagangan memberikan batasan yang disebut mobil nasional, dan perusahaan yang telah membuat mobil nasional mendapatkan status perusahaan pionir. Perusahaan mobil pionir dikenai kewajiban memakai komponen lokal secara bertahap untuk produknya. Untuk itulah perusahaan pionir dibebaskan bea masuk untuk komponen impornya, serta dibebaskan dari pajak penjualan barang mewah untuk produknya.

Dan ternyata sudah ada perusahaan yang memenuhi syarat sebagai perusahaan mobil nasional, yang karena itu bisa diberikan status pionir, kata Tunky Ariwibowo, dalam konperensi pers 28 Februari itu. Itulah PT Timor Putra Nasional (TPN). PT Timor ini adalah badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh seorang warga negara Indonesia bernama Hutomo Mandala Putra. PT ini pun dan sudah merencanakan akan memproduksi mobil rakitan bermerk nasional, yakni Timor.
Menteri Tunky mestinya tidak salah. Mestinya pula, PT Timor, yang akan meluncurkan produk pertama September 1996 nanti, memang sudah mengajukan daftar komponen yang akan diimpor untuk mobil Timor, dan jumlahnya sesuai dengan surat keputusan Menteri. Yakni, maksimal 80% komponen.
Itulah mengapa Menteri Tunky berani menobatkan PT Timor tersebut sebagai perusahaan pionir. Dan tentunya, September nanti Menteri berani pula menilai, adakah 16.000 sedan Timor yang diluncurkan kandungan lokalnya mencapai 20%. Bila tidak, mestinya akan diberlakukan keputusan Menteri Keuangan. Yakni, perusahaan yang telanjur diberi status pionir itu diharuskan membayar bea masuk komponen impornya yang terutang. Juga, diberlakukan Peraturan Pemerintah bahwa perusahaan pionir itu harus membayar Pajak Barang Mewah yang terutang.
Dengan demikian pembeli Timor produksi pertama ini memang bisa menikmati sedan murah dibandingkan bila ia membeli merk lain. Rencananya, Timor dijual Rp 35 juta. Sedangkan pasar sedan setara Timor rata-rata lebih dari Rp 60 juta. Tapi, pembeli Timor bukannya tanpa risiko, misalnya ternyata sang pionir tak memenuhi persyaratan kandungan lokal minimal 20%. Memang, pembeli tak lalu harus membayar Pajak Barang Mewah dan bea masuk komponen impornya.
Masalahnya, bila PT Timor tak kuat menanggung beban kerugian karena harus melunasi pajak terutang, terbuka kemungkinan PT ini macet. Itu berarti pula tersedianya suku cadang dan pelayanan purna jual terancam sulit. Dalam situasi seperti itu, setidaknya mereka yang kadung membeli Timor akan cukup repot memelihara mobilnya. Untuk dijual pun, lazimnya, harga jatuh.
Tapi boleh jadi PT Timor tidak macet dan bersedia menanggung rugi. Bila demikian pembeli Timor boleh merasa beruntung, cuma ada persoalan lain. Tujuan diangkatnya PT Timor sebagai perusahaan pionir tak tercapai. Yakni, sebanyak mungkin menggunakan komponen lokal. Maka tetap saja nilai impor komponen mobil tetap besar.
Dalam situasi seperti itu, yang diharapkan Menteri Tunky sangat sulit dipenuhi: Timor bisa diekspor sebanyak mungkin. Memang, bisa saja ini tetap dilakukan, tapi PT Timor harus menanggung rugi luar biasa besar. Sulit mengekspor mobil dengan harga tinggi, karena harga mobil di Indonesia terhitung tinggi. Rasanya tak ada perusahaan yang didirikan hanya untuk merugi, apalagi dalam nilai supergajah.
Soalnya, harga Timor Rp 35 juta yang murah dibandingkan dengan harga sedan sejenis di Indonesia, bisa menjadi terasa mahal kalau diekspor. Yakni bila dibandingkan dengan harga sedan Sephia buatan KIA Motor Corp., di tanah airnya sendiri. Di Korea Selatan, Sephia yang menjadi model mobil Timor itu cuma dipasarkan US$ 8.000 (sekitar Rp 18,5 juta). Dengan harga Rp 35 juta, termasuk Pajak Pertambahan Nilai 10%, hitung saja berapa untung PT Timor.
Bila saja perhitungan di atas benar, memang harga mobil di Indonesia audzubilah mahalnya, meski (atau justru karena?) sudah dilakukan regulasi demi regulasi.
Hal kedua yang mengundang pertanyaan, mengapa PT Timor yang dimiliki oleh Tommy, panggilan akrab untuk Hutomo Mandala Putra, yang diberi status pionir.
Sejauh PT Timor memenuhi aturan main, rasanya tak ada masalah di situ. Memang terasa sedikit aneh, kenapa tak ada jarak antara turunnya Inpres beserta peraturan pendukungnya dan diberinya PT Timor status pionir. Itu mengesankan kesempatan tak diberikan secara adil pada semua pihak. Kata pihak Toyota Motor Corp., sebagaimana dikutip Asian Wall Street Journal edisi 4 Maret 1996, “(kami) berharap rencana pemerintah (Indonesia) yang diumumkan baru-baru ini tak hanya memberikan kemudahan kepada satu perusahaan, tapi pada semua perusahaan dengan adil.”
Maka kesan tidak adil itu akan menjadi nyata bila nanti ada perusahaan mobil lain yang ternyata juga memenuhi persyaratan tapi tak diperlakukan dengan adil: status kepioniran itu tak diberikan. Memang, sejauh ini belum diketahui, adakah perusahaan mobil merk lain yang bisa memenuhi persyaratan itu. Toyota Kijang umpamanya, meski komponen lokalnya dikabarkan sudah lebih dari 50%, nama merek itu sendiri tak sepenuhnya asli Indonesia –masih ada kata “toyota”nya. Lagi pula dalam susunan pemegang saham perusahaan ATPMnya, Toyota Astra Motor, sebagian saham dimiliki oleh Toyota Motor Corp., perusahaan prinsipal (induk) Toyota. Maukah, umpamanya, perusahaan prinsipal itu melepaskan sahamnya di Toyota Astra Motor kepada orang Indonesia?
Sebelum ada jawaban dari pihak prinsipal di Jepang, Menteri Perindustrian dan Perdagangan sudah menjawab. Ketika wartawan menanyakan bagaimana kalau ada perusahaan lain yang juga memenuhi syarat mendapatkan status pionir, jawab Menteri, ”Kita pelajari dulu.”
Bila begitu, tampaknya kebijaksanaan ini memang cenderung politis daripada bisnis. Yang hendak dipukul terutama para prinsipal di luar Indonesia. Mereka dianggap pelit memberikan alih-teknologi permobilan, terutama jenis sedan buatan Jepang, pada orang Indonesia. Karena itu, sampai sekarang komponen lokal sedan yang dirakit di Indonesia kandungan komponen lokalnya paling banter hanya 20%. Di samping itu, nilai ekspornya pun kecil dibandingkan nilai komponen impornya. Tahun 1995 nilai ekspor mobil dari Indonesia cuma US$ 250 juta, sedangkan nilai impor komponennya, US$ sekitar 4 miliar.
Perhitungan itu dibantah oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Herman Latief, ketua Gaikindo, dalam konperensi pers lima hari setelah diumumkannya Inpres tentang otomotif ini, minta agar anggota Gaikindo dinilai secara proporsional. Benar Gaikindo menghamburkan devisa sebesar US$ 4 miliar (2,6 miliar dolar untuk mengimpor komponen mobil niaga, dan 1,6 miliar untuk mengimpor komponen sedan), katanya. Tapi itu sudah menghemat sekitar US$ 8 miliar.
Selain itu, Herman pun menyatakan bahwa anggota Gaikindo ikut menyumbangkan lapangan kerja. Keseluruhan industri otomotif di Indonesia mempekerjakan 80.000 orang –termasuk 50.000 tenaga kerja di industri komponen.
Soal alih teknologi, Herman mengaku itu tak mudah. Tapi, lanjutnya, “yang kita perlukan dan bisa kita lakukan, kita usahakan agar semuanya tidak kita impor.”
s_Timory7 s_Timory8
Pernyataan Herman bisa ditafsirkan memang si Timor mengancam pasar mobil, baik niaga maupun sedan, yang setara. Menurut data Gaikindo, pangsa pasar sedan Rp 30 juta sampai Rp 80 juta paling banter hanya 200 ribu unit per tahun. Kalau saja Timor memasarkan 100 ribu unit, maka 22 ATPM yang ada akan kehilangan separuh pangsa pasar mereka. ”Kalau pangsa itu mereka ambil semua, jelas perusahaan lain tak akan punya kerjaan lagi,” kata Herman.
Maka Budi Hardjono, anggota DPR-RI dari Komisi Industri dan Perdagangan, mengkhawatirkan kalangan industri otomotif Jepang, pemegang ATPM terbanyak di negeri ini, yang merasa dirugikan oleh si Timor akan memindahkan investasinya ke luar negeri. Bila ini terjadi, dunia otomotif di Indonesia memang bisa semrawut.
Jadi, bagaimana harus melihat Inpres yang mengorbitkan Timor sebagai mobil pionir ini? Dengan kacamata pemerintah yang mengharapkan ekspor mobil meningkat, sambil memberi kesempatan masyarakat memiliki mobil lumayan nyaman dengan harga murah?
Atau, menganggap bahwa masalah gagalnya ATPM mobil Jepang meningkatkan ekspor mobil adalah satu hal, dan penunjukan ATPM pionir adalah hal lain?
Orang Indonesia, dalam hal mobil, konon lebih mementingkan gengsi daripada yang lain-lain.
http://www.mobiltimor.com

0 komentar:

Posting Komentar