SETELAH Gatutkaca N250, Indonesia pun kini memiliki mobil buatan
sendiri. Namanya Timor, nama yang mengingatkan pada pulau kecil di
Indonesia Timur yang tak pernah lepas dari pembicaraan internasional
itu. Menurut Tommy Soeharto, pemilik perusahaan Agen Tunggal Pemegang
Merk si Timor itu, arti nama itu adalah Teknologi Industri Mobil Rakyat.
Memang, belum hari-hari ini si Timor akan bergabung dengan kemacetan
Jakarta. Rencananya, baru September nanti sedan 1500 cc ini akan
melenggang di jalan-jalan Indonesia. Ketika itu, sebenarnya, Timor belum
bisa disebut made in Indonesia: baru sekitar 20% komponen lokal di
tubuhnya. Barulah tiga tahun kemudian, direncanakan mobil ini melaju
dengan tubuh 60% buatan Indonesia.
Lalu, mengapa Timor ?
Rabu, 28 Februari 1996, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tungky
Ariwibowo menggelar konperensi pers. Ia mengumumkan sebuah Inpres baru
tentang pembangunan industri mobil nasional. Pada pokoknya Inpres Nomor 2
Tahun 1996 itu menginstruksikan kepada Menteri Perindustrian dan
Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Penggerak Dana
Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal agar secepat mungkin
mewujudkan industri mobil nasional.
Itu sebabnya, bersamaan dengan ditekennya Inpres itu, 19 Februari
1996 (tapi baru diumumkan tanggal 28 Februari), turun pula peraturan
pemerintah, surat keputusan Menteri Keuangan, surat keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan yang memberikan kemudahan kepada produsen
mobil nasional sesuai yang dikatakan oleh Inpres Nomor 2 itu.
Peraturan Pemerintah yang baru itu membebaskan pengenaan pajak barang
mewah pada mobil nasional. Menteri Keuangan membebaskan bea masuk
komponen impor untuk mobil nasional. Menteri Perindustrian dan
Perdagangan memberikan batasan yang disebut mobil nasional, dan
perusahaan yang telah membuat mobil nasional mendapatkan status
perusahaan pionir. Perusahaan mobil pionir dikenai kewajiban memakai
komponen lokal secara bertahap untuk produknya. Untuk itulah perusahaan
pionir dibebaskan bea masuk untuk komponen impornya, serta dibebaskan
dari pajak penjualan barang mewah untuk produknya.
Dan ternyata sudah ada perusahaan yang memenuhi syarat sebagai
perusahaan mobil nasional, yang karena itu bisa diberikan status pionir,
kata Tunky Ariwibowo, dalam konperensi pers 28 Februari itu. Itulah PT
Timor Putra Nasional (TPN). PT Timor ini adalah badan hukum Indonesia
yang sepenuhnya dimiliki oleh seorang warga negara Indonesia bernama
Hutomo Mandala Putra. PT ini pun dan sudah merencanakan akan memproduksi
mobil rakitan bermerk nasional, yakni Timor.
Menteri Tunky mestinya tidak salah. Mestinya pula, PT Timor, yang
akan meluncurkan produk pertama September 1996 nanti, memang sudah
mengajukan daftar komponen yang akan diimpor untuk mobil Timor, dan
jumlahnya sesuai dengan surat keputusan Menteri. Yakni, maksimal 80%
komponen.
Itulah mengapa Menteri Tunky berani menobatkan PT Timor tersebut
sebagai perusahaan pionir. Dan tentunya, September nanti Menteri berani
pula menilai, adakah 16.000 sedan Timor yang diluncurkan kandungan
lokalnya mencapai 20%. Bila tidak, mestinya akan diberlakukan keputusan
Menteri Keuangan. Yakni, perusahaan yang telanjur diberi status pionir
itu diharuskan membayar bea masuk komponen impornya yang terutang. Juga,
diberlakukan Peraturan Pemerintah bahwa perusahaan pionir itu harus
membayar Pajak Barang Mewah yang terutang.
Dengan demikian pembeli Timor produksi pertama ini memang bisa
menikmati sedan murah dibandingkan bila ia membeli merk lain.
Rencananya, Timor dijual Rp 35 juta. Sedangkan pasar sedan setara Timor
rata-rata lebih dari Rp 60 juta. Tapi, pembeli Timor bukannya tanpa
risiko, misalnya ternyata sang pionir tak memenuhi persyaratan kandungan
lokal minimal 20%. Memang, pembeli tak lalu harus membayar Pajak Barang
Mewah dan bea masuk komponen impornya.
Masalahnya, bila PT Timor tak kuat menanggung beban kerugian karena
harus melunasi pajak terutang, terbuka kemungkinan PT ini macet. Itu
berarti pula tersedianya suku cadang dan pelayanan purna jual terancam
sulit. Dalam situasi seperti itu, setidaknya mereka yang kadung membeli
Timor akan cukup repot memelihara mobilnya. Untuk dijual pun, lazimnya,
harga jatuh.
Tapi boleh jadi PT Timor tidak macet dan bersedia menanggung rugi.
Bila demikian pembeli Timor boleh merasa beruntung, cuma ada persoalan
lain. Tujuan diangkatnya PT Timor sebagai perusahaan pionir tak
tercapai. Yakni, sebanyak mungkin menggunakan komponen lokal. Maka tetap
saja nilai impor komponen mobil tetap besar.
Dalam situasi seperti itu, yang diharapkan Menteri Tunky sangat sulit
dipenuhi: Timor bisa diekspor sebanyak mungkin. Memang, bisa saja ini
tetap dilakukan, tapi PT Timor harus menanggung rugi luar biasa besar.
Sulit mengekspor mobil dengan harga tinggi, karena harga mobil di
Indonesia terhitung tinggi. Rasanya tak ada perusahaan yang didirikan
hanya untuk merugi, apalagi dalam nilai supergajah.
Soalnya, harga Timor Rp 35 juta yang murah dibandingkan dengan harga
sedan sejenis di Indonesia, bisa menjadi terasa mahal kalau diekspor.
Yakni bila dibandingkan dengan harga sedan Sephia buatan KIA Motor
Corp., di tanah airnya sendiri. Di Korea Selatan, Sephia yang menjadi
model mobil Timor itu cuma dipasarkan US$ 8.000 (sekitar Rp 18,5 juta).
Dengan harga Rp 35 juta, termasuk Pajak Pertambahan Nilai 10%, hitung
saja berapa untung PT Timor.
Bila saja perhitungan di atas benar, memang harga mobil di Indonesia
audzubilah mahalnya, meski (atau justru karena?) sudah dilakukan
regulasi demi regulasi.
Hal kedua yang mengundang pertanyaan, mengapa PT Timor yang dimiliki
oleh Tommy, panggilan akrab untuk Hutomo Mandala Putra, yang diberi
status pionir.
Sejauh PT Timor memenuhi aturan main, rasanya tak ada masalah di
situ. Memang terasa sedikit aneh, kenapa tak ada jarak antara turunnya
Inpres beserta peraturan pendukungnya dan diberinya PT Timor status
pionir. Itu mengesankan kesempatan tak diberikan secara adil pada semua
pihak. Kata pihak Toyota Motor Corp., sebagaimana dikutip Asian Wall
Street Journal edisi 4 Maret 1996, “(kami) berharap rencana pemerintah
(Indonesia) yang diumumkan baru-baru ini tak hanya memberikan kemudahan
kepada satu perusahaan, tapi pada semua perusahaan dengan adil.”
Maka kesan tidak adil itu akan menjadi nyata bila nanti ada
perusahaan mobil lain yang ternyata juga memenuhi persyaratan tapi tak
diperlakukan dengan adil: status kepioniran itu tak diberikan. Memang,
sejauh ini belum diketahui, adakah perusahaan mobil merk lain yang bisa
memenuhi persyaratan itu. Toyota Kijang umpamanya, meski komponen
lokalnya dikabarkan sudah lebih dari 50%, nama merek itu sendiri tak
sepenuhnya asli Indonesia –masih ada kata “toyota”nya. Lagi pula dalam
susunan pemegang saham perusahaan ATPMnya, Toyota Astra Motor, sebagian
saham dimiliki oleh Toyota Motor Corp., perusahaan prinsipal (induk)
Toyota. Maukah, umpamanya, perusahaan prinsipal itu melepaskan sahamnya
di Toyota Astra Motor kepada orang Indonesia?
Sebelum ada jawaban dari pihak prinsipal di Jepang, Menteri
Perindustrian dan Perdagangan sudah menjawab. Ketika wartawan menanyakan
bagaimana kalau ada perusahaan lain yang juga memenuhi syarat
mendapatkan status pionir, jawab Menteri, ”Kita pelajari dulu.”
Bila begitu, tampaknya kebijaksanaan ini memang cenderung politis
daripada bisnis. Yang hendak dipukul terutama para prinsipal di luar
Indonesia. Mereka dianggap pelit memberikan alih-teknologi permobilan,
terutama jenis sedan buatan Jepang, pada orang Indonesia. Karena itu,
sampai sekarang komponen lokal sedan yang dirakit di Indonesia kandungan
komponen lokalnya paling banter hanya 20%. Di samping itu, nilai
ekspornya pun kecil dibandingkan nilai komponen impornya. Tahun 1995
nilai ekspor mobil dari Indonesia cuma US$ 250 juta, sedangkan nilai
impor komponennya, US$ sekitar 4 miliar.
Perhitungan itu dibantah oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor
Indonesia (Gaikindo). Herman Latief, ketua Gaikindo, dalam konperensi
pers lima hari setelah diumumkannya Inpres tentang otomotif ini, minta
agar anggota Gaikindo dinilai secara proporsional. Benar Gaikindo
menghamburkan devisa sebesar US$ 4 miliar (2,6 miliar dolar untuk
mengimpor komponen mobil niaga, dan 1,6 miliar untuk mengimpor komponen
sedan), katanya. Tapi itu sudah menghemat sekitar US$ 8 miliar.
Selain itu, Herman pun menyatakan bahwa anggota Gaikindo ikut
menyumbangkan lapangan kerja. Keseluruhan industri otomotif di Indonesia
mempekerjakan 80.000 orang –termasuk 50.000 tenaga kerja di industri
komponen.
Soal alih teknologi, Herman mengaku itu tak mudah. Tapi, lanjutnya,
“yang kita perlukan dan bisa kita lakukan, kita usahakan agar semuanya
tidak kita impor.”
Pernyataan Herman bisa ditafsirkan memang si Timor mengancam pasar
mobil, baik niaga maupun sedan, yang setara. Menurut data Gaikindo,
pangsa pasar sedan Rp 30 juta sampai Rp 80 juta paling banter hanya 200
ribu unit per tahun. Kalau saja Timor memasarkan 100 ribu unit, maka 22
ATPM yang ada akan kehilangan separuh pangsa pasar mereka. ”Kalau pangsa
itu mereka ambil semua, jelas perusahaan lain tak akan punya kerjaan
lagi,” kata Herman.
Maka Budi Hardjono, anggota DPR-RI dari Komisi Industri dan
Perdagangan, mengkhawatirkan kalangan industri otomotif Jepang, pemegang
ATPM terbanyak di negeri ini, yang merasa dirugikan oleh si Timor akan
memindahkan investasinya ke luar negeri. Bila ini terjadi, dunia
otomotif di Indonesia memang bisa semrawut.
Jadi, bagaimana harus melihat Inpres yang mengorbitkan Timor sebagai
mobil pionir ini? Dengan kacamata pemerintah yang mengharapkan ekspor
mobil meningkat, sambil memberi kesempatan masyarakat memiliki mobil
lumayan nyaman dengan harga murah?
Atau, menganggap bahwa masalah gagalnya ATPM mobil Jepang
meningkatkan ekspor mobil adalah satu hal, dan penunjukan ATPM pionir
adalah hal lain?
Orang Indonesia, dalam hal mobil, konon lebih mementingkan gengsi daripada yang lain-lain.
http://www.mobiltimor.com
Sabtu, 15 Februari 2014
Sejarah Mobil Timor
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar